Kutukan itu Bernama Indonesia
Paijo sejak kecil telah bercita-cita menjadi seorang guru. Ketika bermain dengan kawan-kawannya pun dia senang bermain guru dan murid. Setelah lulus SMA Paijo pun menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru. 3 tahun lamanya Paijo belajar di sana. Setelah lulus Paijo luntang-lantung selama 1 tahun melamar jadi guru kemana-mana, tapi walhasil dia tidak diterima.
Setelah hampir putus asa, tiba-tiba datanglah surat, yang isinya bahwa Paijo diterima jadi guru Bantu, tapi tidak di kota seperti yang Paijo inginkan, tapi di luar pulau. Akhirnya cita-cita Paijo pun kesampaian, walaupun di luar dugaannya sebenarnya. Yang lebih di luar dugaan lagi Paijo tidak hanya ditempatkan di luar pulau, tetapi juga di daerah pedalaman yang jauh dari mana-mana. Untuk ke kota terdekat saja butuh waktu sehari semalam naik kendaraan bermotor karena jalan besar belum ada, jadi harus melewati jalan-jalan tanah yang becek dan susah dilalui.
Di desa daerah pedalaman itu, tinggal tak kurang dari 3000 orang, dan mereka mempunyai satu sekolah dasar. Paijo terheran-heran pada awalnya, karena guru untuk 6 kelas itu cuma ada dua orang, jadi setiap orang memegang tiga kelas. Paijo pun dengan senang hati menerimanya. Memang gajinya tak seberapa, bahkan boleh dibilang sangat minim, hanya cukup untuk makan. Tapi Paijo gembira bukan main atas pekerjaan barunya itu. Dia tinggal di rumah kepala desa selama tugasnya di desa pedalaman itu. Begitu sampai keesokan harinya Paijo langsung diminta mengajar, karena memang SD itu sangat kekurangan guru. Karena hanya ada 2 guru di 6 kelas, Paijo yang baru di situ, akhirnya di beri tugas mengajar kelas 1 dan 2.
‘Anak-anak, Indonesia, negeri yang kamu banggakan ini adalah negeri kutukan Tuhan. Dengan hasil alam yang berlimpah, dengan minyak bumi yang tak habis2nya, dengan laut dan hasil laut yang berlimpah, itu semua bukan surga anak-anak. Justru kita telah dikirimi kutukan oleh Tuhan. Dengan semua kekayaan itu kita menjadi bodoh, centang perenang, dan kurang ajar terhadap alam itu sendiri.’
Anak-anak kelas 1 pun menjadi heboh, mereka kebingungan atas guru-guru mereka. Oleh guru mereka sebelumnya mereka diajarkan bahwa Indonesia kaya raya, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Surga yang dipenuhi oleh berbagai macam keindahan, orangnya ramah dan penuh budi pertolongan. Masyarakatnya tentram dan sejahtera. Tapi Paijo membalikkan semua itu menjadi gemah brebah ra migunani, ora tentrem rebutan bondho. (Kaya tapi gak berguna, tidak tentram rebutan harta). Anak-anak di kelas 2 malah lebih heboh lagi, karena tentunya mereka telah diajar oleh guru sebelumnya lebih lama lagi.
‘Dan kau ingat anak-anak, pepatah apa yang paling terkenal dari Ki Hajar Dewantara..?’
Anak-anak itu serentak menjawab.
‘Ing Ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, tut wuri handayani’
‘Kalian telah ditipu anak-anakku yang Pak Guru cintai, tidak ada pepatah seperti itu terjadi di Indonesia sekarang ini. Yang ada adalah Ing Ngarso numpuk bondho, Ing Madya mumpung kuoso, Tut Wuri Nyurigani. (Didepan menumpuk harta, di tengah mumpung berkuasa, di belakang curiga sepanjang masa).’
Anak-anak itu bertepuk tangan, Paijo pun semakin bersemangat.
‘ Negeri ini gudangnya penipu, gudangnya tikus2 pengerat yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Ini negerimu anakku, Bapak harus jujur pada kalian semua sekarang, supaya kalian tahu betapa rusaknya negerimu ini. Sehingga kalian tidak berpangku tangan seakan menerima warisan harta kekayaan yang berlimpah, tetapi warisan kalian adalah negeri yang akan bangkrut kebanyakan hutang, negeri yang penuh masyarakat kelaparan, negeri yang rawan bencana tetapi penduduknya malah sering menciptakan bencana tambahan. Ya, mau tidak mau, itulah warisan yang akan kalian terima dari kami para orang tua.’
Anak-anak kelas 1 dan 2 SD itu menjadi semakin bingung, tetapi mereka suka sekali dengan cara mengajar Paijo. Sabar dan penuh pengertian. Anak-anak dibiarkan sendiri mengekspresikan keinginan mereka dalam belajar. Bahkan Paijo sendiri tidak terlalu sering mengajar anak-anak di dalam kelas, Paijo sering mengajak mereka berjalan-jalan di hutan yang memang tak jauh dari lokasi SD itu.
Di hutan sepanjang mereka berjalan, mereka bernyanyi mars lagu-lagu kebangsaan yang diplesetkan. Salah satunya :
‘Garuda Pancasila
kamilah pengkhianatmu
pengkhianat proklamasi
selalu mengorbankanmu
Pancasila dasar negara
Rakyatnya lapar menderita
Bangunlah bangsaku
Ayo maju maju ayo maju maju ayo maju majuuuu……..’
Lama kelamaan sampai pulalah kabar berita tentang Paijo itu di telinga para orang tua yang ada di kampung itu. Anak-anak itu dengan riang biasanya menceritakan perjalanan mereka ke hutan sambil belajar. Dan tentu sekali dua kali mereka menceritakan bahwa negeri Indonesia adalah negeri kutukan Tuhan. Para orang tua yang mendengar seperti spontan kaget bukan main. Banyak di antara mereka yang mendatangi sekolah untuk minta penjelasan. Tetapi oleh Paijo dijelaskan baik-baik walaupun mereka tetap tidak puas. Mereka tidak terbiasa dengan cara mengajar Paijo, bahkan mereka merasa tidak suka. Di rumah, anak-anak mereka menjadi sering bertanya tentang banyak hal. Dulu orang tua-2 itu dengan gampangnya menyuruh diam, tapi akhir2 ini mereka tidak mau diam dan bertanya terus. Ditambah dengan beberapa kalimat yang anak-anak itu dapatkan dari Paijo. ‘Pertanyaan anak kecil adalah keingintahuan yang harus dijawab’ begitu mereka menirukan Paijo.
2 rekan Paijo guru di SD itu juga tidak senang dengan Paijo, karena murid-murid kelas 3 sampai 6 pun mulai ikut-ikutan ingin diajar seperti murid-murid di kelas 1 dan 2. Dan sifat Paijo yang demokratis dan tak pernah marah dengan anak-anak itu membuat mereka semakin jengkel, karena mereka sudah terbiasa menjadi dewa di kelas. Apapun yang dikatakan bapak ibu guru adalah benar, sabda pandita ratu. Tidak ada yang bisa dan mampu membantahnya. Mereka sudah sering menyindir Paijo untuk berhenti dengan caranya mengajar yang menurut mereka aneh itu. Tapi Paijo tak bergeming. Diam-diam 2 guru itu mengirimkan surat ke Dinas Pendidikan yang menugaskan Paijo untuk mengajar di kampung itu.
Tak lama kemudian Paijo dikeluarkan dari profesinya sebagai guru Bantu , bukan hanya dikeluarkan tetapi juga disertai ancaman untuk tidak lagi mengajar dalam bentuk apapun. Paijo dengan sangat berat hati meninggalkan pekerjaan yang amat dicintainya itu, tapi terlebih lagi Paijo kasihan melihat anak-anak tunas bangsa yang dicekoki oleh kebohongan-kebohongan tiap harinya.
Bangkitlah Indonesiaku....dunia melaju tanpa menunggu, yang tertinggal akan digilas waktu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar